![]() |
Gedung Kantor Dinas Kesehatan OKI. |
Penulis: Iwan S Gempo
OKI, CROSCEK.com – Sore itu, pikiranku tertuju pada sebuah kantor yang seharusnya menjadi andalan terdepan pelayanan kesehatan rakyat, namun anggarannya justru menjadi ladang bancakan. Jumat (01/08/2025)
Di balik pintu tertutup Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), nilai-nilai moral dan integritas tampaknya telah dikubur dalam-dalam, digantikan oleh dugaan keserakahan yang rapi tersusun dalam dokumen-dokumen proyek fiktif.
Seolah tanpa rasa malu, pejabat publik yang digaji dari keringat rakyat ini justru menyusun skenario dugaan korupsi dengan presisi. Tidak hanya satu, dua, tapi 18 kegiatan pertemuan yang diklaim menghabiskan lebih dari Rp2,3 miliar ternyata tidak pernah terjadi.
Tidak ada peserta, tidak ada hotel yang dipesan, tidak ada seminar, tidak ada pembicara, tidak ada apa-apa, layaknya seminar atau meeting di alam ghaib, pesertanya pun mungkin para mahluk halus, yang nyata hanyalah laporan palsu yang berujung pencairan uang negara.
Ironisnya, para pelaku mengaku “tidak tahu aturan” dan hanya mengikuti “kebiasaan sebelumnya”. Jawaban seperti itu yang justru menampar akal sehat rakyat, bahwa pelanggaran hukum dilakukan atas dasar kebiasaan, bukan ketidaksengajaan. Ini bukan lagi sekadar kelalaian, tapi sebuah keputusan sadar untuk menyimpang, yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi kaum teladan.
“Pengembalian dana hanya Rp215 juta dari total Rp2,3 miliar. Sisanya masih hilang di semesta alam ghaib yang gelap,” ungkap salah satu pejabat BPK Sumsel, menyiratkan ironi di tengah upaya reformasi birokrasi.
Lebih menyakitkan lagi, kasus ini terjadi di sektor kesehatan, di mana seharusnya setiap rupiah berarti harapan bagi nyawa rakyat kecil. Bayangkan berapa banyak alat kesehatan, obat untuk puskesmas, atau pelatihan tenaga medis yang bisa diselenggarakan dari dana yang dirampok ini.
Untuk mendapat klarifikasi atas kebenaran yang terjadi, aku pun berusaha menghubungi Salah seorang pejabat kantor itu. Namun kembali berujung kecewa, panggilan telpon dan chat WA ku tak pernah dijawab. iya mungkin karena sudah berbeda alam, sehingga jaringanku tak ada signal di alam ghaib" pikirku saat itu. Jumat (01/08/2025) sore.
Yang lebih menyakitkan hati rakyat, meski borok ini telah dibuka oleh audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), para pelaku masih melenggang. Tidak ada rasa bersalah yang ditunjukkan ke publik. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada wajah tertunduk. Yang ada justru sikap defensif dan diam seribu bahasa.
Rakyat OKI pun bertanya-tanya. Di mana hati nurani para pejabat ini? Apakah kekuasaan dan jabatan telah membutakan mereka hingga lupa bahwa uang yang mereka gelapkan berasal dari keringat rakyat yang menunggu pelayanan di puskesmas-puskesmas pelosok?
Ini bukan sekadar laporan keuangan yang tak sesuai. Ini adalah krisis moral. Korupsi yang dilakukan dengan sadar, disusun sistematis, dan ditutup-tutupi hingga terbongkar melalui pemeriksaan resmi negara.
Yang dibutuhkan bukan hanya pengembalian dana. Tapi pertanggungjawaban moral dan hukum. Bukan hanya pemulihan anggaran, tapi juga pemulihan kepercayaan rakyat. Jika kasus ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, maka pesan yang sampai ke mata rakyat sangat jelas, bahwa korupsi pejabat OKI adalah hal yang biasa, selama dilakukan bersama dan dibungkus rapi.
Dan itulah tragedi paling sunyi di balik angka‑angka LHP BPK, bukan hanya uang rakyat yang hilang, tapi juga hati nurani pejabat yang sudah mati. (*)